Minggu, 06 Mei 2018

Kisah Rsi Markandeya dan Pancadatu



Di dalam sebuah kitab yang berjudul”MARKANDEYA PURANA” dan “agastya parwa” TEREBUTLAH SEORANG Yogi yang bernama : MARKANDEYA.Beliau bertapa dibukit Damalung. Tempat ini terletak di pegunungan Dieng di Jawa Tengah. Di dalam pertapaan ini beliau sering diganggu oleh jin dan syaitan (wengker). Karenanya terpaksalah beliau pindah dari tempat itu. Beliau menuju arah ke timur dan sampailah di lereng Gunung Raung yang terletak di Jawa Timur. Disitulah beliau melanjutkan tapanya. Berkat keteguhan imannya maka akhirnya terdengarlah sabda gaib. Beliau diharuskan membuka hutan rimba raja kejurusan Timur, untuk perpindahan penduduk.
              Di kaki Gunung Raung itu terdapat beberapa buah desa. Penduduknya disebut Wong-Aga. Suku bangsa ini adalah keturunan dari percampuran darah antara orang-orang Jawa dengan orang-orang Hindu yang datang dari India. Mereka itulah digerakkan oleh MARKANDEYA. Puncak Gunung Agung yang remang-remang kelihatan dari situ, menambah kegembiraan mereka. Mereka yakin disekitar tempat itu terdapat tanah yang subur, penuh dengan sumber-sumber mata air.
              Pada suatu hari yang telah ditetapkan berangkatlah mereka dengan penuh perlengkapan dan perbekalan. Rombongan ini terdiri dari ± 8000 orang. Sampai di suatu tempat yang banyak mata airnya, MARKANDEYA lalu memerintahkan orang-orang Aga itu melakukan perabasan. Akan tetapi setelah beberapa bulan mereka bekerja, banyaklah rombongan itu meninggal dunia. Ada yang mati diterkam binatang buas, banyak pula yang ditimpa penyakit deman panas. Karenanya semangat mereka bekerja makin berkurang. MARKANDEYA yakin kalau pekerjaannya akan menemui kegagalan, maka diperintahkanlah agar orang-orang Aga itu menghentikan pekerjaannya. Sedangkan beliau sendiri segera kembali ke lereng Gunung Raung ketempat pertapaannya se4mula. Disitulah beliau bertapa kembali, akhirnya terdengarlah sabda gaib lagi yang memberi petunjuk kepadanya bagaimana caranya untuk melanjutkan usahanya itu.
              Keberangkatan MARKANDEYA untuk kedua kalinya ini, disertai oleh ± 4000 orang-orang Aga. Merekapun lengkap denan perbekalan dan peralatan. Sedangkan MARKANDEYA terus menuju kelereng Gunung Agung. Disitu beliau memendam 5 (lima) jenis logam yang disebut PANCA – DATU. Tempat itu diberinya nama BASUKI atau BESAKIH. Menurut kepercayaan bahwa kelima jenis logam tersebut dapat menolak segala bencana. Sesudah itu barulah beliau memerintahkan sekalian pengikutnya merabas hutan, dan ternyata usaha mereka kini berhasil. Tiap-tiap orang mendapat pembagian tanah yang cukup luas untuk sawah ladang dan pekarangan. Tempat ini bernama desa PUAKAN, terletak disebelah Utara desa Taro di Kecamatan Tegallalang Gianyar. Puakan berarti pembagian Desa itu mengingkatkan kita, bahwa disanalah MARKANDEYA pulang memutuskan pembagian tanah kepada orang-orang Aga. Setelah MARKANDEYA selesai membagi-bagikan tanah kepada sekalian pengikutnya lalu beliau berpidnah-pindah tempat untuk bertapa atau beryoga. Beliau selalu mendoakan agar sekalian pengikut-pengikutnya tetap mendapat kebahagiaan di tempatnya yang baru itu. Sebuah desa bernama Pajogan mengingatkan kita dimana MARKANDEYA pernah beryoga, dan tiada jauh dari tempat itu terdapatlah sebuah pura bernama Pecampuhan. Di situlah beliau memadukan ciptanya. Pecampuhan berarti perpaduan. Pura ini disebut Pula Gunung Lebah yang terletak disebelah Barat desa Ubud – Gianyar. Dari situ beliau menuju arah ke utara, sampai di suatu tempat dimana beliau bertapa pula yang kemudian diberinya nama Sarwada. Disitu kini terdapat sebuah pura besar, dan desa disekitarnya bernama Taro. Kedua nama itu memberikan pengertian bahwa segala keinginannya telah tercapai. Sarwada berarti serba ada dan Taro berarti keinginan. Dari Sarwada beliau berpindah tempat arah kebarat. Pada suatu tempat beliau membuat sebuah AMNDALA tempat memuja Dewa-dewa. Tempat itu bernama pura Murwa yang terletak di desa Pajaragan Gianyar. Murwa berarti tempat para dewa-desa.
              Keturunan dari orang-orang Aga itulah yang sekarang disebut WONG BALI AGA atau WONG BALI MULA, sebagai penduduk asli Pulau Bali. Mereka itu tinggal di desa; Sembiran, Cempaga, Sidhatapa, Padawa, Sobleg, Beratan, Tigawasa, Bakung, Sangsit, Tangawan, Timbrah, Kutapang, Sental-kawan, Lembongan (Nusa-Penida), Batur, Bantang, Dausa-Catur, Kintamani, Kedisan, Sukawana, Lampu, Kembangsari, Kutadalem, Bajung, Abang, Satra, Trunyan, Kayubihi, Kayag, Pangootan, Cekang, Abianbase, Sambaan Camengawon, Pengalu, Pasokan, Lot, Tebhuwana, Marga, Angkal Gadungan, Blahkiuh dan Plaga. Desa-desa tersebut kebanyakan terletak di daerah pegunungan, sehingga timbul pengertian bahwa Aga berarti gunung.
              Mengingat bahwa MARKANDEYA pulang kembali kelereng Gunung Raung, ketika usahanya yang pertama itu gagal, maka daerah yang dibukannya itu disebut Bali. Ada pula yang mengartikan kata Bali itu teguh atau mulia. Itu dapat dimengerti karena betapa teguhnya orang Bali mempertahankan kepercayaan leluhurnya yang dianggapnya mulia itu.
 
 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar