Di dalam sebuah kitab yang berjudul”MARKANDEYA PURANA” dan “agastya parwa” TEREBUTLAH SEORANG Yogi yang bernama : MARKANDEYA.Beliau
bertapa dibukit Damalung. Tempat ini terletak di pegunungan Dieng di
Jawa Tengah. Di dalam pertapaan ini beliau sering diganggu oleh jin dan
syaitan (wengker). Karenanya terpaksalah beliau pindah dari tempat itu.
Beliau menuju arah ke timur dan sampailah di lereng Gunung Raung yang
terletak di Jawa Timur. Disitulah beliau melanjutkan tapanya. Berkat
keteguhan imannya maka akhirnya terdengarlah sabda gaib. Beliau
diharuskan membuka hutan rimba raja kejurusan Timur, untuk perpindahan
penduduk.
Di kaki Gunung Raung itu terdapat beberapa buah desa. Penduduknya
disebut Wong-Aga. Suku bangsa ini adalah keturunan dari percampuran
darah antara orang-orang Jawa dengan orang-orang Hindu yang datang dari
India. Mereka itulah digerakkan oleh MARKANDEYA. Puncak Gunung Agung
yang remang-remang kelihatan dari situ, menambah kegembiraan mereka.
Mereka yakin disekitar tempat itu terdapat tanah yang subur, penuh
dengan sumber-sumber mata air.
Pada suatu hari yang telah ditetapkan berangkatlah mereka dengan penuh
perlengkapan dan perbekalan. Rombongan ini terdiri dari ± 8000 orang.
Sampai di suatu tempat yang banyak mata airnya, MARKANDEYA lalu
memerintahkan orang-orang Aga itu melakukan perabasan. Akan tetapi
setelah beberapa bulan mereka bekerja, banyaklah rombongan itu meninggal
dunia. Ada yang mati diterkam binatang buas, banyak pula yang ditimpa
penyakit deman panas. Karenanya semangat mereka bekerja makin berkurang.
MARKANDEYA yakin kalau pekerjaannya akan menemui kegagalan, maka
diperintahkanlah agar orang-orang Aga itu menghentikan pekerjaannya.
Sedangkan beliau sendiri segera kembali ke lereng Gunung Raung ketempat
pertapaannya se4mula. Disitulah beliau bertapa kembali, akhirnya
terdengarlah sabda gaib lagi yang memberi petunjuk kepadanya bagaimana
caranya untuk melanjutkan usahanya itu.
Keberangkatan MARKANDEYA untuk kedua kalinya ini, disertai oleh ± 4000
orang-orang Aga. Merekapun lengkap denan perbekalan dan peralatan.
Sedangkan MARKANDEYA terus menuju kelereng Gunung Agung. Disitu beliau
memendam 5 (lima) jenis logam yang disebut PANCA – DATU. Tempat itu
diberinya nama BASUKI atau BESAKIH. Menurut kepercayaan bahwa kelima
jenis logam tersebut dapat menolak segala bencana. Sesudah itu barulah
beliau memerintahkan sekalian pengikutnya merabas hutan, dan ternyata
usaha mereka kini berhasil. Tiap-tiap orang mendapat pembagian tanah
yang cukup luas untuk sawah ladang dan pekarangan. Tempat ini bernama
desa PUAKAN, terletak disebelah Utara desa Taro di Kecamatan Tegallalang
Gianyar. Puakan berarti pembagian Desa itu mengingkatkan kita, bahwa
disanalah MARKANDEYA pulang memutuskan pembagian tanah kepada
orang-orang Aga. Setelah MARKANDEYA selesai membagi-bagikan tanah kepada
sekalian pengikutnya lalu beliau berpidnah-pindah tempat untuk bertapa
atau beryoga. Beliau selalu mendoakan agar sekalian pengikut-pengikutnya
tetap mendapat kebahagiaan di tempatnya yang baru itu. Sebuah desa
bernama Pajogan mengingatkan kita dimana MARKANDEYA pernah beryoga, dan
tiada jauh dari tempat itu terdapatlah sebuah pura bernama Pecampuhan.
Di situlah beliau memadukan ciptanya. Pecampuhan berarti perpaduan. Pura
ini disebut Pula Gunung Lebah yang terletak disebelah Barat desa Ubud –
Gianyar. Dari situ beliau menuju arah ke utara, sampai di suatu tempat
dimana beliau bertapa pula yang kemudian diberinya nama Sarwada. Disitu
kini terdapat sebuah pura besar, dan desa disekitarnya bernama Taro.
Kedua nama itu memberikan pengertian bahwa segala keinginannya telah
tercapai. Sarwada berarti serba ada dan Taro berarti keinginan. Dari
Sarwada beliau berpindah tempat arah kebarat. Pada suatu tempat beliau
membuat sebuah AMNDALA tempat memuja Dewa-dewa. Tempat itu bernama pura
Murwa yang terletak di desa Pajaragan Gianyar. Murwa berarti tempat para
dewa-desa.
Keturunan dari orang-orang Aga itulah yang sekarang disebut WONG BALI
AGA atau WONG BALI MULA, sebagai penduduk asli Pulau Bali. Mereka itu
tinggal di desa; Sembiran, Cempaga, Sidhatapa, Padawa, Sobleg, Beratan,
Tigawasa, Bakung, Sangsit, Tangawan, Timbrah, Kutapang, Sental-kawan,
Lembongan (Nusa-Penida), Batur, Bantang, Dausa-Catur, Kintamani,
Kedisan, Sukawana, Lampu, Kembangsari, Kutadalem, Bajung, Abang, Satra,
Trunyan, Kayubihi, Kayag, Pangootan, Cekang, Abianbase, Sambaan
Camengawon, Pengalu, Pasokan, Lot, Tebhuwana, Marga, Angkal Gadungan,
Blahkiuh dan Plaga. Desa-desa tersebut kebanyakan terletak di daerah
pegunungan, sehingga timbul pengertian bahwa Aga berarti gunung.
Mengingat bahwa MARKANDEYA pulang kembali kelereng Gunung Raung, ketika
usahanya yang pertama itu gagal, maka daerah yang dibukannya itu
disebut Bali. Ada pula yang mengartikan kata Bali itu teguh atau mulia.
Itu dapat dimengerti karena betapa teguhnya orang Bali mempertahankan
kepercayaan leluhurnya yang dianggapnya mulia itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar